Beda Tipe Kepribadian yang Bisa Menimbulkan Konflik

Perjalanan HS kami sebentar lagi menginjak tahun ketiga. Artinya sudah hampir dua tahun saya berkegiatan secara intens bersama anak-anak. Paling hanya 1-2 jam saja kami terpisah, itu pun nggak setiap hari.

Dengan bertambahnya kuantitas dan kualitas (semoga) interaksi, tentu saja membuat banyak perubahan dalam keseharian kami. Yang paling saya rasakan adalah kami makin sering peluk-peluk dan cium-cium. Kedua anak saya ini seneng banget deh aktifitas kiss and hug.

Dalam hal interaksi psikologis juga banyak sekali yang perubahannya. Saya jadi lebih banyak belajar memahami kepribadian anak-anak. Meski tetap merasa jatuh bangun dalam memberikan respon atas perilaku mereka.

Ada satu hal yang menjadi catatan, saya masih cukup sering berselisih pendapat dengan anak sulung saya. Saling berargumentasi yang seringkali juga bikin konflik. Meskipun nggak pernah lama, karena kami nggak suka berantem lama-lama. Obatnya kiss and hug itu.

Ya, saya masih belajar memahami dunia mereka yang kadang sebetulnya sederhana, tapi kita memandangnya dari sudut pandang orang dewasa. Dan saya berharap anak-anak juga belajar memahami nilai-nilai yang saya dan suami sampaikan.

Dari konflik ini saya sering menduga, ini pasti terjadi karena saya dan si sulung memang mempunyai watak yang mirip. Sama-sama keras kepala dan punya standar tinggi terhadap sesuatu dalam perspektif yang berbeda.

Cukup banyak deh kejadian di keseharian yang bikin saya merasa anak saya ini bagaikan “karet” yang kalau ditarik dia akan menarik dirinya kembali ke posisi semula. Bahasa gaulnya ngeyel. Sebenarnya mungkin karena kami sama-sama ngeyel.

Hingga suatu hari, di Klub Oase datang beberapa psikolog yang akan mengambil sampel data dengan melakukan psikotest pada anak-anak usia di atas 9 tahun dan para orang tua. Tujuan test ini adalah untuk mengetahui potensi pikir, potensi perilaku dan gaya belajar.

Anak-anak menerima beberapa sessi pengujian mulai dari membuat gambar sampai menjawab pertanyaan, sedangkan pada orang tua hanya ada dua sessi pertanyaan. Masing-masingnya cukup banyak juga pertanyaan yang harus dijawab.

Saat membaca hasil psikotest tersebut 4 minggu kemudian, saya merasa analisa psikologi ini banyak benarnya. Apa yang diuraikan mengenai potensi pikir dan perilaku saya dan anak saya sebagian besarnya sesuai.

Dan ada satu bagian yang menjelaskan sedikit kenapa antara saya dan anak saya mudah terjadi konflik (selain sifat keras kepala tadi ;p).FullSizeRender (5)

Hasil test mengatakan, potensi pikir paling kuat yang saya punya adalah ANALITIK. Yaitu orang yang cukup kuat dalam mengembangkan pola pikir yang logis, runut dan abstrak. Serta cenderung mencari data dan bukti yang terukur.

Orang tipe ini biasanya sangat menyukai sesuatu yang detail, lengkap dan sistematis.

Sedangkan anak saya, memiliki kecenderungan pola pikir KONSEPTUAL. Yaitu tipe dinamika berpikir yang cenderung mengabaikan bukti, pola pikir konkrit dan praktis.

Dalam menerima informasi, dia lebih suka hal-hal yang bersifat konseptual, tanpa perlu step by stepnya. Dia juga mempunyai daya imajinasi dan kreatifitas yang tinggi (out of the box). Kalau diberi informasi yang terlalu detail, kayaknya bakal dia abaikan.

Benang merahnya adalah, saya adalah tipe orang yang kalau menjelaskan sesuatu itu detail. Saya suka apabila sesuatu dikerjakan sesuai aturan yang seharusnya. Misalnya, setelah makan kita harus menyimpan alat makan di wastafel, mencucinya dan meletakkan di tempat yang tepat. Meja dicek, apakah ada remah-remah yang tertinggal. Jangan menyimpan gelas bekas minum sembarangan, nanti tersenggol dan pecah. Itu contohnya.

Lalu, saya teringat pengalaman saat anak saya masih sekolah beberapa tahun lalu. Setiap gurunya meminta dia membuat sesuatu, dia akan melakukannya dengan cara lain yang hampir tidak mengikuti petunjuk yang diberikan gurunya. Awalnya aneh melihatnya, lho. Kenapa anak ini selalu ingin melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda. Setelah beberapa kali kejadian, saya baru ngeh kalau dia memang tipe orang yang “out of the box”. Dan ternyata hasil psikotest beberapa waktu lalu itu sesuai.

Nah kondisi saya dan anak saya jadi bertolak belakang kan. Saya sering meminta dia melakukan sesuatu sesuai arahan saya yang detail, tapi dia hanya membutuhkan konsep. Caranya terserah dia. Dalam banyak hal (di kejadian sehari-hari) ini berpengaruh. Dan bisa menimbulkan konflik, mulai dari cara menyampaikan, mendengar dan merespon yang berbeda.

Pantas ajaaaaa.

Dari hasil test ini juga, hasilnya menunjukkan kalau anak saya cenderung asertif. Ini sering saya komplen lho. Beberapa kali saya masih dibuat kaget dengan ekspresi anak saya yang to the point. Dia kalau mengkritik saya sering blak-blakan. Kalau memprotes juga begitu. Jadi saya sering langsung mengingatkan dia kalau caranya menyampaikan sesuatu itu nggak tepat, lalu saya beri tahu bagaimana yang seharusnya.

Namun ternyata saya jadi berpikir, kita tidak bisa mengubah karakter seseorang dalam sekejap. Yang paling mungkin adalah kita mengarahkan agar anak-anak bisa menyikapi karakternya ini dengan cara yang baik. Dan karakter dasar seseorang itu memang bukan untuk diubah, melainkan diarahkan agar tidak menjadi sesuatu yang negatif.

So it’s ok being assertive, namun dia harus hati-hati menjaga lisan. Dan menjaga lisan ini bisa dilakukan dengan pembiasaan sehari-hari.

Semua ini akhirnya menjadi salah satu proses saya mengenal anak saya dengan lebih baik. Mendalami kepribadiannya, menerima saat dia melakukan kesalahan. Lalu ketika kesalahan itu terulang lagi dan lagi, saya bisa berlapang dada, memaafkan dan nggak lelah mengingatkan.

Buat saya, belajar menerima kesalahan anak adalah sebuah tantangan tersendiri. Saya harus belajar untuk menerima ini sebagai kepribadiannya, tidak langsung mengoreksi, tapi menahan diri untuk beberapa saat.

Terkadang, masih susah untuk menahan diri karena saya juga sifatnya ekspresif (tidak bisa menyembunyikan isi hati, yang juga dibuktikan oleh psikotest ini). Tapi insya Allah saya akan belajar. Karena salah satu visi keluarga HS ini adalah kami belajar bersama-sama, berproses untuk menjadi lebih baik setiap hari.

Suami saya mengingatkan lewat sebuah hadits, suatu ketika Rasulullah SAW bersabda:

“Berwasiatlah untuk para wanita karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan yang paling bengkok dari bagian tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau ingin meluruskan tulang rusuk tersebut maka engkau akan mematahkannya, dan jika engkau membiarkannya maka ia akan tetap bengkok, maka berwasiatlah untuk para wanita (HR Al-Bukhari III/1212 no 3153 dan V/1987 no 4890 dari hadits Abu Hurairah).

Hadits di atas merupakan nasihat bagi suami untuk mendidik istri dengan lemah lembut. Namun saya mengambil pelajaran yang sama dalam mendidik anak-anak. Diibaratkan mereka adalah sepotong tulang, yang perlu kita luruskan. Jika kita meluruskannya terlalu keras, dia akan patah. Tapi luruskan mereka dengan cinta. Agar setiap momen usaha kita meninggalkan kesan indah.

Semoga saya bisa, sehingga perbedaan karakter kami bukan menjadi pemicu konflik.

 

 

 

 

 

 

6 thoughts on “Beda Tipe Kepribadian yang Bisa Menimbulkan Konflik

  1. Semangat bund..
    Kayaknya umum sekali ada perbedaan type kepribadian antar anggota keluarga. Tp biasa ada satu type yg bs nyambung dg semua type. Klo itu dimiliki ibu atau ayah jd lebih mudah nyambunginnya. Kadang yg setipepun tdk selalu kompak bun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *