Benarkah HS Merupakan Solusi Kegalauan Orang Tua?

hs solusi pendidikanKini homeschooling sedang menjadi perbincangan banyak orang, sorotan pemerhati pendidikan dan incaran para orang tua. Saya sempat mengobrol dengan beberapa orang tua yang menanyakan tentang HS dan mereka berminat untuk HS. Alhamdulillah, bagi pelaku HS ini sebuah berkah tersendiri karena artinya HS sudah diterima dan dipahami secara luas.

Kalau ingat teman-teman senior yang sudah memulai HS belasan tahun lalu, saya membayangkan perjuangan mereka saat itu sangat tidak mudah. Banyak sekali tantangan yang mereka alami, baik dari keluarga maupun dari luar. Ada yang menganggap mereka keluarga “ajaib” karena tidak memasukkan anak-anak mereka ke sekolah seperti yang dilakukan orang tua pada umumnya. Alih-alih berlomba mencari sekolah bagus, mereka asyik-asyik di rumah saja.

Begitu sih cerita teman-teman saya yang anak-anaknya sudah berHS lebih dari sepuluh tahun. Saya yang memulai HS di saat sudah ramai aja sering merasa galau, apalagi mereka yang tidak punya tempat bertanya. Hanya mencari referensi dari website luar negeri (Amerika) yang sudah memulai HS lebih dulu.

Sekarang ini, saya beberapa kali mendapat pertanyaan dari teman-teman tentang HS, apa dan bagaimana menjalankannya. Mungkin karena saya sering memosting aktivitas anak-anak di media sosial, yang semuanya yang bagus-bagus, membuat HS sepertinya menarik (yang nggak bagusnya disimpen sendiri aja).

HS memang merupakan angin segar dunia pendidikan dan alternatif baru yang kini mulai menjadi pilihan banyak orang.

Tapi…

Benarkah HS merupakan solusi dari segala kegalauan yang dialami orang tua dengan permasalahan sekolah anak-anak?

Let’s see.

Beberapa orang tua yang ngobrol cantik dengan saya bercerita, bahwa mereka ingin menarik anak mereka dari sekolah karena beberapa hal:

  • Sepertinya anak mereka nggak suka sekolah, karena tampak kurang bersemangat kalau waktunya sekolah.
  • Sekolah membebani anak-anak dengan tugas yang banyak, kalau HS anak-anak bisa lebih fleksibel mengatur waktu dan memilih bidang yang diminati.
  • Pergaulan sekolah yang mengkhawatirkan, pornografi, bullying, bicara kasar, dsb. Kalau di rumah, pusat kegiatan anak-anak bersama orang tua sehingga lebih terkontrol.
  • Biaya sekolah mahal, sedangkan kalau HS bisa disesuaikan dengan budget keluarga.
  • Orang tua stress dengan rutinitas harian, persiapan sekolah, membantu mengerjakan PR dan mempersiapkan ulangan, antar jemput, dsb.
  • Sekolah tidak cocok, tidak sesuai harapan. Anak-anak tidak menunjukkan prestasi.
  • Ingin mengakselerasi pendidikan anak, supaya bisa lebih cepat naik kelas.

Begitu kira-kira cerita yang saya terima seputar harapan dan keinginan mereka menghomeschoolkan anak-anak mereka. Lalu, apakah dengan menarik anak dari sekolah, akan menyelesaikan semua masalah? Jangan-jangan masalah di sekolahan selesai, malah akan membuat masalah baru.

Nah loh.

Kok nakut-nakutin, sih? Nggak, nggak. Saya sih bukan ingin nakut-nakutin. Tapi mengajak teman-teman berpikir terbuka dahulu dengan segala kemungkinan sebelum memutuskan. Jangan kayak saya nih, saat menentukan akan menjadi keluarga homeschool nggak pakai pikir panjang dulu.

Istikharah sih pasti ya. Tapi mencari dulu informasi yang dalam tentang HS? Nggak, huhuhu. Judulnya nekad memang.

Lalu apakah sekarang menyesal?

Pertanyaan ini saya jawab belakangan ya. Sebelumnya saya mau jelaskan dulu fakta-fakta yang baru saya ketahui belakangan setelah menjalani homeschool, yang sama sekali nggak terbayang sebelumnya.

  1. Niat berHS harus kuat sejak awal.

Pangkal dari segala amal adalah niatnya. Tapi niat yang lurus belum tentu dibekali tekad yang kuat dan nyali yang besar. Dan namanya manusia, wajar deh ya kalau ditengah perjalanan ikhtiar, niatnya maju mundur cantik karena benturan-benturan kecil.

Melihat anak nggak mau dengerin ortunya, langsung galau dan merasa nggak pantas jadi orang tua HS. Trus pundung, mau balik ke sekolah. Lihat anaknya main game melulu, jadi pusing dan merasa tidak mampu mengendalikan aktivitas keseharian.

Kalau di awal memulai HS kita belum punya niat yang kuat dan belum yakin bahwa HS adalah pilihan yang terbaik, sebaiknya jangan buru-buru nekat mau mengeluarkan anak dari sekolah. Karena ujian terbesar HS ini adalah our self-faith terhadap pilihan itu sendiri. Ketika hati kita sudah mantaff, maka segala sandungan, benturan dan halangan yang menghadang kita, akan berubah menjadi tantangan.

Saya dan suami cukup mantap di awal untuk berHS. Tapi begitulah, kadang ruhiyah si emak lagi drop, hormon menguasai, akal sehat kalah, bawaannya galau dan kesel aja kalau apa yang kita harapkan tidak terjadi. Misal, anak-anak seharian nggak ngapa-ngapain. Kalau udah begini, kadang ada pikiran “Kembali ke sekolah kayaknya akan bikin anak-anak punya kegiatan deh, dibanding jadi pengangguran macam emaknya.” Naaah kan. Pernah gak ngalamin ini?

Jadi, mantapkan sebelum benar-benar memulai, ya. Bersama kesulitan akan ada kemudahan. Dan bersama masalah sesungguhnya ada hikmah.

  1. Menentukan jenis HS yang akan dijalani.

Mas Aar dari Rumah Inspirasi membahasakan kategori homeschooling ini menjadi 2 bagian, yaitu metode yang terstruktur (school at home) dan metode tidak terstruktur (unschooling).

Atau berdasarkan kategori lain, Mas Aar juga membagi HS menjadi 3 jenis, yaitu akademis, profesional dan entrepreneur.

Saya nggak akan membahas metode-metode tersebut dalam postingan ini. Tapi maksudnya begini.

Saat memulai HS pertama kali, enaknya kita sudah ada gambaran akan menjalankan metode yang mana. Apakah ingin menjalankan school at home yang berbasis kurikulum atau unschooling. Paling tidak sampai situ, selanjutnya proses menentukan kurikulum yang tepat bisa sambil berjalan. Pilih yang paling bisa kita jalani, bukan yang paling ngetrend dijalani orang lain.

Pilihan lainnya adalah menjalankan unschooling, yaitu metode yang tidak berbasis kurikulum, dimana keluarga lebih mengedepankan core value keluarga masing-masing. Nah dari awal paling tidak kita sudah menentukan visi misi pendidikan di keluarga.

Kenapa perlu? Contohnya nggak jauh-jauh ya, tapi di keluarga kami. Kami bener-bener nggak punya bayangan tentang metode ini. Karena kami memutuskan HS cukup mendadak.

[Baca: Mengapa Memilih Homeschooling].

Jadi, dua tahun lalu, saat kami baru pindah dari Australia dan nggak memasukkan anak-anak ke sekolah, bayangannya saya mau jadi kepala sekolah yang mengatur kegiatan anak-anak setiap harinya. Saya beberapa kali membaca tentang forum HS yang menerapkan metode school at home. Kurikulum yang ingin dicoba juga dari mana-mana, kombinasi beberapa macam kurikulum. Lalu anak-anak saya dicoba dengan metode ini. Saya bikin booklet kegiatan, lembar evaluasi, jadwal-jadwal buat anak dan saya.

Ternyata saya sendiri nggak bisa menjalankannya (mungkin malas atau gimana, deh). Lalu coba berdasarkan minat, eeh, saya clueless mau bawa anak saya kemana. Belum punya informasi sama sekali.

Alhamdulillah, we were saved by homeschoolers family community. Sejak bergabung dengan komunitas yang isinya keluarga HS, saya baru dapat pencerahan bagaimana menemukan metode yang benar. Dan semua baru saya jalani ketika tahun pertama hampir berakhir. Ya, hampir berakhir. Jadi selama setahun kami terombang-ambing dalam kegalauan.

Meskiiii, sebenarnya galau dalam HS itu merupakan salah satu seninya. Nggak seru kalau nggak galau.

[Baca: Tantangan di Tahun Pertama Homeschooling].

Berdasarkan pengalaman ini, saya berpendapat, lebih enak kalau kita memulai HS dengan bekal informasi yang cukup. Tapi jangan terlalu lama juga menimbang-nimbangnya, karena akan muncul galau yang lain. Analoginya, saat kita menceburkan diri ke laut, kita sudah tahu seberapa dalam lautnya, ada hewan apa saja di sana, dan yang paling penting sudah bisa berenang. Jangan nyemplung dulu, lalu baru berpikir bagaimana caranya berenang.

Bekal awal ini penting, walaupun praktiknya, hal yang pertama kita lakukan saat memulai HS bukan terkait metode ataupun kurikulum (insya Allah saya akan share tentang apa saja yang kami dan beberapa Hser lakukan saat memulai HS).

Cerita saya masih panjang, nih. Insya Allah saya lanjutkan di postingan berikutnya, ya.

 

 

 

 

10 thoughts on “Benarkah HS Merupakan Solusi Kegalauan Orang Tua?

  1. Suka tulisannya..hem..nyali sya jg ga kuat utk HS..ehm partner sy jg ga bgt tertarik/ krg support soal HS..kmd..target prioritas sy konsen mendampingi anak mengaji n menghafal alquran plus bicara ttg keimanan dsb..

  2. Aduh aduh.. saya masih galau aja nih… udah, daftar HS LDR aja deh sama mbak Anne… #trus_dijitak

    Ditunggu ya lanjutan ceritanya 🙂

  3. Aku jadi penasaran nih menikmati tulisan lainnya dr mba anne ttg HS. Tapi salut sam mba anne yg punya nyali besar buat HS yg memang belum umum di masyarakat Indonesia.

    1. Silakan baca2 mbak. Biar nyali ttp terjaga, hrs bergabung dgn keluarga hs yg lain mbak. Biar menggalau bersama 😉

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *