Kisah Di Balik HS Kami

 

homeschool1Dalam tulisan sebelumnya, kami pernah menyampaikan alasan-alasan memilih homeschooling. Alasan tersebut merupakan  hal-hal fundamental yang menjadi sandaran kami berkegiatan di homeschool berbasis keluarga yang kami jalankan.

Namun, ada kisah-kisah lain yang melatarbelakangi kami beralih ke homeschooling setelah menjalani pendidikan formal bagi anak-anak kami. Saya akhirnya ingin menceritakan kisah ini karena saat Fesper 2014 kemarin, kami melakukan sessi sharing from the homeschoolers. Saat itu, berulang kali saya dibuat berlinang air mata mendengar penuturan para orang tua tentang proses homeschooling mereka.

Ternyata saya tidak sendiri. Banyak teman yang mengalami kisah yang hampir sama dengan saya. Bahkan, saya boleh menganggap kami lebih beruntung tidak sampai terlambat menyadari kalau pendidikan formal ini kami lanjutkan, saya mungkin akan menyesal di kemudian hari.

Bicara tentang penyesalan, mungkin ini pengalaman pribadi saya juga yang merasa punya passion di bidang seni sejak kecil tapi tidak terfasilitasi karena kewajiban saya untuk fokus di dunia akademis. Dan saya tidak mau hal ini terjadi pada anak-anak saya.

Kisah Moi Kusman, seorang praktisi hs yang sudah berhasil mengantarkan dua anaknya menjadi mahasiswa pada usia muda, berkisah bahwa salah seorang anaknya pernah mendapat predikat anak yang suka mendebat, sampai-sampai dia tidak naik kelas. Padahal prestasi putera mbak Moi di bidang olah raga bisa dibanggakan.

Juga kisah Lilis, yang selalu beradu pendapat dengan anaknya karena anaknya yang merasa tidak nyaman di sekolah namun karena prinsipnya untuk mengedepankan pendidikan adalah utama, malah membuat keduanya sering berselisih paham. Sampai akhirnya kedua mata dan hatinya terbuka pada pilihan homeschooling setelah anaknya masuk usia SMA.

Dan masih banyak kisah lain.

Saya sendiri ingin berkisah tentang pengalaman anak saya, Naufal yang sempat mengikuti pendidikan formal di Indonesia selama 1,5 tahun dan di Australia selama 2 tahun.

Karena pengalaman di dua tempat yang berbeda inilah yang membuat saya bingung ketika kami dihadapkan pada opsi harus memilih kembali sekolah di Indonesia. Anak saya adalah tipe pengkhayal. Dunia imajinasinya seakan mendominasi. Dia suka sekali menciptakan sesuatu dalam bentuk tulisan, gambar, animasi atau bangunan.

Ketika mulai masuk SD (sudah tentu lewat tes masuk), anak saya sering dianggap tukang melamun. Setiap hari, guru kelasnya lapor pada saya tentang ini. Anehnya, kata si guru, Naufal cerdas. Hanya saja, dia tetap tidak masuk kategori anak pintar di kelas (baca: dapat ranking bagus). Rankingnya selalu di bawah 10.

Saya tidak pernah mempermasalahkan ranking, karena bagi saya Naufal cukup berwawasan luas dari ilmu yang dia dapatkan sendiri dengan membaca. Saya juga tidak pernah menuntut dia harus berprestasi di sekolah.Biar saja dia menjalankan aktivitas sesuai polanya sendiri.

Namun, tuntutan sekolah berbeda. Lagi-lagi, Naufal sering bermasalah dengan tugas-tugasnya. Sejak awal saya sudah wanti-wanti gurunya, kalau anak ini tipenya berbeda. Dia cenderung think out of the box. Atau bahasa premannya ‘ngeyel’.

Saat disuruh menggambar bangun datar segitiga, kubus dan lingkarang, dia malah menggambar robot. Namun pada bagian-bagian tertentu yang mempunyai unsur segitiga, kubus dan lingkaran dia pertebal. Namun tetap saja tidak bisa diterima oleh gurunya, karena menyalahi instruksi.

Selain itu masih ada kisah-kisah lainnya. Namun, ya sudahlah. Beruntung, kami kemudian pindah ke Australia dan Naufal mendapat pola pendidikan yang lebih cocok. Namun ketika kami harus kembali ke tanah air, kami jadi galau. Ada rasa trauma. Bukan karena pendidikannya yang salah, tapi karena karakter Naufal yang keras dan kuat menekuni satu bidang yang sangat dia cintai, menggambar.

Akhirnya, disinilah kami sekarang. Saya dan suami sebagai homeschool parents buat anak-anak kami, Naufal dan Kayyisha. Buat kami, homeschooling hanyalah salah satu pilihan dari beragam pilihan pendidikan anak. Dan kami merasa ini yang terbaik dan tepat untuk kami saat ini.

 

4 thoughts on “Kisah Di Balik HS Kami

  1. Mba anne salam kenal saya jg seorg hs..baru di dunia hs ini..saya membaca keseluruhan isi webnya mba yg smart dan bahasanya lucu bgt smpe senyum2 saya bacanya dan tertarik utk berkenalan lbh dekat skalian sharing2 ilmu (mba kan sdh senior..he3) kalau blh minta nmr kontaknya mba..?:)

    1. Waah, saya belum senior, sama-sama pemula kok. Sila kontak fb saya dulu mbak, Anne Adzkia Indriani. Makasih ya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *