“Aa, mau ikut pesantren tahfizh gak?” tanya saya akhir tahun lalu.
Naufal mikir sejenak, trus jawab, “Oke.” Wajahnya masih lempeng.
Baiklah, saya masih belum menganggap jawabannya serius. Lalu beberapa hari lalu saya nanya lagi, “Aa, ustadz X siap ngajarin tahfizh. Mau, ya?”
“Actually, I still want to learn with you, Mi.”
Saya pun jelasin ke dia kalau belajar Al Qur’an seharusnya dari orang yang betul-betul paham. Supaya ilmunya benar. Dan murid harus mendatangi gurunya, bukan sebaliknya. Karena itu salah satu adab menuntut ilmu, dimana murid harus berangkat mencari ilmu dengan membawa niat dan rasa ingin tahu yang besar.
Kembali ke jawaban Naufal, dia akhirnya menjawab “Iya” setelah saya sedikit “memaksa”.
Lalu kemarin, saya iseng tanya lagi sambil santai-santai, “A, Ummi nunggu kamu yang minta belajar tahfizh. Kapan, ya?” Saat ini dia baru belajar hafalan surah yang pendek-pendek bareng umminya yang ilmunya masih sangat terbatas dan belum konsisten ini.
Dia jawab, “Yeah, I want to learn it now, Mi.” Dengan sedikit senyum tapi tatapannya masih lurus.
Ya, dia belum menunjukkan keinginan yg kuat dari dalam hatinya untuk belajar tahfizh dari orang lain. Dan itu yang saya tunggu untuk membuat saya berangkat mengantarkannya ke satu tempat untuk mendalami Al Qur’an. Saya menanti binar mata yang penuh semangat.
Bagi orang lain, mungkin saya terlambat mengantarkannya belajar menghafal. Karena saya merasa baru dua tahun belakangan kami berusaha lebih maksimal menggenggam pendidikan anak-anak, setelah sebelumnya mereka berbaur dalam lingkungan tanpa “agama”.
Orang tua mana yang tidak iri saat melihat anak-anak lain seusianya sudah hafal berjuz-juz Al Qur’an. Tapi saya benar-benar menunggu anak-anak saya berangkat belajar karena panggilan hatinya.
Saya ingin, mereka menghafal Al Qur’an karena mencintai kitab sucinya. Bukan karena disuruh orang tuanya, apalagi dengan motivasi nilai atau penghargaan di mata manusia. Karena apa yang saya lihat saat dia menjawab “iya”, itu masih karena ingin menyenangkan saya, Umminya yang meminta. Nggak, saya nggak mau itu.
Saat ini, tugas kami masih amaaat panjang, pelan-pelan dan menjaga utk terus istiqomah, membuat anak-anak dekat dan akrab dengan Al Qur’an. Rindu jika tak mendengar lantunan Al Qur’an sebagaimana mereka merindukan suara orang tuanya jika lama tak terdengar. Menjaga perilaku mereka agar sesuai dengan nilai-nilai Al Qur’an dan Hadits.
Karena begitu mereka menghafal Al Qur’an, saya khawatir hafalan itu hanya sampai di lisannya, bukan membekas di hatinya. Dan saya tahu, menjaga hafalan itu jauuh lebih sulit dari menghafalkannya. Dan ada sedikit saja perbuatan maksiat, maka besar risiko kehilangan hafalan itu. Dan saya takut, pertanggungjawaban yang amat besar di hadapan Allah jika anak-anak kita tidak paham dan mengamalkan Al Qur’an karena kita tidak mendidiknya sesuai dengan nilai-nilai dalamnya.
Satu hal yang saya yakin, doa kami, orang tuanya yang tak pernah putus akan mendapat jawaban dari Allah. Inginnya nggak lama lagi anak-anak yang datang dan bilang, “Mi, I want to memorise Al Qur’an because I love it as much as I love Allah, Rasulullah. More than I love you.”
Mampukan kami ya Allah. Mampukan kami ya Allah. Mampukan kami ya Allah. Allahumma ‘aamiin.