Ngobrolin tentang mengatasi kecanduan game sepertinya lebih cocok dibahas oleh para pakar parenting, ya. Sudah banyak juga sharing seputar hal ini. Namun saya ingin share sedikit berdasarkan pengalaman di keluarga.
Benar, anak-anak yang lahir di dekade milenia ini adalah digital natives, atau penduduk asli yang menempati dunia digital. Anak-anak kita lahir ketika dunia digital sedang memasuki masa keemasannya. Pengguna gawai elektronik hampir berbanding lurus dengan jumlah sensus penduduk. Hampir loh yaa (takut dikata lebay).
Siapa sih yang nggak punya gawai (gadget) elektronik di rumahnya? Segala sesuatu yang berbentuk layar menjadi daya tarik tersendiri. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja bisa tahan berjam-jam di depan layar kecil maupun besar.
Game online, kini sering digadang-gadang sebagai musuh bebuyutan orang tua. Karena mereka khawatir anaknya lebih suka main game daripada belajar.
Yang kini jadi masalah bagi para orang tua terkait game adalah:
- Game anak dan dewasa yang tidak jelas batasannya. Game untuk dewasa dengan mudah bisa dimainkan anak-anak. Coba deh mampir ke kedai game online. Bisa bikin orang tua migrain nggak sembuh-sembuh kalau tahu apa yang terjadi di dalam sana.
- Game dewasa ini mengandung konten yang berbahaya. Ada pornografi (mengumbar aurat dan mempertontonkan adegan seksual hingga eljibitih), kekerasan (berupa tindakan dan bahasa), dan lifestyle kebarat-baratan yang jauh dari nilai-nilai agama dan adat Indonesia.
- Game menimbulkan adiksi hebat. Apalagi kalau pernah mendengar share-nya bu Elly Risman terkait konten yang nyandu, bikin merinding deh.
- Waktu bermain dan belajar anak-anak yang harusnya diisi oleh aktifitas fisik dan bersama keluarga, tergantikan dengan main game. Sehingga bisa membahayakan fisik dan otak.
Dari keempat masalah di atas, saya menarik benang merah bahwa yang harus dipangkas dalam urusan game ini adalah kontrol dalam memilih game yang baik dan mengatasi ketergantungannya.
Sebagai orang tua memang harus muter otak setiap hari kalau menemukan hal-hal yang nggak beres. Nggak bisa kita menyerahkan urusan anak-anak kita sepenuhnya pada orang lain, hatta orang tua kita sekalipun. Apalagi pada orang lain yang tidak kenal anak kita bener-bener, yaitu pengasuh. Karena tentunya ikatan batin orang tua dan anak itu kuat sehingga cepat memberi sinyal kalau ada hal-hal yang harus diwaspadai.
Anak saya juga beberapa kali tergantung pada game komputer. Memang, game yang biasa mereka mainkan adalah Minecraft. Kadang-kadang aja mereka main game dari ponsel saya atau suami. Tapi kalau main di ponsel lebih bisa dikontrol karena saya pun ikut main bareng. Tujuannya sih untuk menjadikan momen main game ini untuk interaksi dengan anak juga.
Nah, saya sering menangkap gejala anak-anak kecanduan game kalau mereka mulai lalai tanggung jawabnya, lupa waktu (bahkan waktu makan) dan nggak merespon ketika ditanya. Belum adiksi tingkat tinggi sih, tapi cukup mengganggu.
Ada beberapa hal yang saya lakukan untuk mengontrol magnet game (terutama game online) yang kuat ini:
- Buat kesepakatan kapan dan berapa lama boleh bermain game dan apa konsekuensinya. Kalau melanggar, baru konsekuensi tersebut diberlakukan.
- Ketika ada pelanggaran, sebelum konsekuensi diberlakukan, beri peringatan bertingkat dahulu.
- Tingkat pertama, diingatkan dengan nasihat. Hihihi, saya masih suka sambil ngomel nih kasih nasihatnya. Tapi udahannya maaf-maafan juga sih.
- Tingkat kedua, beri konsekuensi dengan memutus satu kesenangan. Misalnya karena melewati jam bermain game, anak jadi nggak dapet dongeng sebelum tidur.
- Tingkat ketiga, putus hubungan dengan perangkat elektronik yang berhubungan dengan game tersebut. Karena anak saya biasa main Minecraft di laptop, jadilah dia banned dulu menyentuh laptopnya selama seminggu.
- Orang tua jangan mencontohkan main game juga. Supaya sama-sama bisa belajar disiplin. Because children see, children do.
- Ketika kita melarang anak main game, anak pasti bingung mau melakukan apa. Jadi orang tua harus menyiapkan kegiatan yang bisa mereka lakukan. Misalnya main game yang melibatkan kerjasama anggota keluarga, membaca buku, memasak atau permainan outdoor.
Keempat cara ini biasanya berhasil dilakukan di rumah, meski tetap ada drama juga.
Oya, untuk membiasakan anak-anak nggak mati gaya saat jauh dari gawai elektronik, di rumah kami memberlakukan a day without gadget. Momen seperti ini kami jadikan seharian full sebagai hari keluarga. Kami manfaatkan untuk berinteraksi baik di luar maupun di dalam rumah.
Buat keluarga kami, game itu bagus. Kami masih sering main game bersama dan anak-anak saya tetap bisa belajar lewat game-nya itu. Tapi mengajarkan anak manajemen waktu tentunya lebih penting. Dan yang cukup penting juga adalah, ada proses dimana orang tua dan anak belajar untuk komunikasi dan berpegang pada kesepakatan bersama.
Di beberapa keluarga ada yang benar-benar menjauhkan anaknya dari game agar menghindari kecanduan. Saya nggak memilih cara ini karena menurut saya nggak ada salahnya anak main game, asal mereka menyadari tanggung jawab pada kegiatan lainnya dan bisa memenej waktu. Justru ini dijadikan metode belajar memahami tanggung jawab tersebut.
Bagi anak, meninggalkan sesuatu yang teramat disukai itu susah. Maka, ketika dia berhasil menaklukkan dirinya meninggalkan game saat waktunya habis atau masuk waktu sholat (misalnya), ini adalah prestasi sendiri. Dan seringkali saya apresiasi anak-anak karena berhasil dalam proses self controlling-nya.
Sikap orang tua yang terlalu strict khawatirnya memacu anak-anak untuk berbohong. Iya, karena dorongan main game kuat namun dilarang oleh ortunya, mereka akhirnya curi-curi kesempatan main saat ortu nggak ada atau melakukannya di luar rumah. Ini malah menyeramkan karena kita nggak bisa kontrol game yang dimainkan anak-anak.
Dan ternyata, dengan bermain game, imajinasi anak-anak saya bisa berkembang. Karena game, salah satu anak saya berminat mendalami dunia digital art, membuat animasi, programming komputer, web designing dan menulis.
Dunia game buat anak saya adalah sumber belajar. Dia senang membaca, dan segala hal tentang game menjadi bahan bacaannya. Misalnya latar belakang sebuah game, sejarah pembuatan game, biografi beberapa pencipta game dan banyak lagi. Ujung-ujungnya waktunya sudah sibuk duluan untuk semua ini daripada untuk bermain game. Dan dia sudah merasa cukup dengan bermain game sekali sepekan di akhir minggu.
Cerita anak saya tentang dunianya yang berhubungan dengan menulis, digital art dan programming bisa dibaca di blog pribadinya Naufal Ghazi Blog dan di beberapa tulisan di blog ini. Salah satu tulisannya tentang review adalah Google Cardboard Virtual Reality.
Nah, jadi game bukanlah sesuatu yang harus dihindari, hanya perlu dibatasi. Dengan komunikasi yang baik bersama anak, anak akan belajar banyak hal lewat game.
Apa yang biasa teman-teman lakukan untuk mengatasi kecanduan game? Jangan lupa untuk berbagi juga, ya.
Bener sih Mbak. Children see children do. Sebagai orang tua emang kudu bisa kreatif mencari kegiatan alternatif pengganti ngegame. Makasoh buat alamatnya blog Naufal Mbak! π
Sama2 Dan
Emang ya maks, kita emaknya yg harus bener2 kreatif mengalihkan perhatiannya juga
Betul Maaak. Anak-anak sbnrnya mudah teralihkan kok
Kereern bgt, itu Nofal usianya berapa tahun mba? nengok reviewnya kok bisa keren gt, detail.
Klo anak saya, Fathan (3tahun) suka bgt nonton video animasi,suka galau klo nontonya kelamaan. Thanks sharingnya mba
Naufal usia 11 tahun, mb Shine. Sama2 mbak.
Setuju mbak Anne, games bukan sesuatu yg harus dihindari hanya perlu dibatasi. Banyak kok game edukatif yg bisa menambah wawasan dan keterampilan anak. Cara mba Anne mirip dg metode yg saya terapkan di rumah, paling sebel itu kalo anak diajak ngomong tp ngga direspon. Ya dengan berat hati deh no gadget selama waktu yg disepakati hehe..
Trims sharing ilmunya mba π
Teknik no gadget itu mmg manjur bgt. Anak2 jd sempet “lupa” sejenak aktifitas brg gadgetnya.
Sepakat, nggak semua game itu buruk. Cuma perlu dibatai dan diawasi. Kalau saya pribadi lbh suka anak gk maen game, lbh suka mereka mainnya pake aktivitas fisik spy klo malam lelap bobonya krn kecapekan hihihi
Iya mbak. Anak usia SD mmg lbh bagus kegiatan fisik
untungnya anakku baru ada gadget waktu smp jadi belum terlalu terpengaruh ya. mmebayangkan dari balita sudah kenal gadget…duh pinter2 kita ya.
Huaa iyaa, anak2 skrg diasuhnya oleh gadget yaa
Saya setuju bangt kalau games jangan di hilangkan tapi dibatasi. Saya kebetulan ngak suka main games, suami saya kadang di hand phone anak msh kecil baru setahunan jd blom ada kontaminasi games. Makasih tipsnya mbak
Keren mbak. Sama2
dilema sih…..dulu pdhl aku ga pgn samaekali beliin anakku tablet.ak.. apalagi umurnya msh 3 thn . tapi kok lama2 kasian ya mbak, temen2nya udh pd punya semua di paud nya, cuma dia yg belum. akhirnya kita beliin sih, tp dgn batasan2.. tabletnya ga kita isi kartu, jd hanya based on wifi di rumah.. so, dia g bkl bisa bawa kluar itu tablet. supaya bisa kita awasi… dan jamnya kita tentuin juga.. trs, gamesnya pun kita yg install.. walopun nth gmn caranya ya, dia ngerti juga cara donlot sendiri -__-.. hadeuuuhh, pusing maminya…
Anak2 itu hebat, otaknya lgsg bisa beradaptasi dgn teknologi. Jd kita ortunya hrs update juga deh π
Makasih tipsnya mba. Anak saya memang lagi kecanduan game . Sampai kadang kudu heboh dan alot untuk mengatur jadwal main gamenya. Hehehe.
Mungkin anak bisa dikenalkan pada permainan permainan non game seperti di bawah ini
Terima kasih tipsnya. Adik saya lagi kecanduan game Minecraft. Apalagi saat liburan ini, jadi main aja. Sampai susah disuruh makan. Ketika diajak main dan orang tua saya, saya lagi repot atau capek, dan tidak main, langsung teriak. Mohon share tipsnya untuk yang seperti ini, karena bagi saya dan orang tua saya terlalu susah untuk diatasi.