
Kira-kira 1 bulan lalu, Naufal memutuskan akan ikut kegiatan live-in (eksplorasi) di Mts Pakis selama satu bulan lamanya bersama 4 orang temannya yang lain, yaitu Kaysan, Alevko, Anja dan Ratri. Dan selama dua pekan terakhir ini, obrolan kami banyak seputar persiapan ke sana. Salah satunya, dia harus menyelesaikan tantangan membaca buku Pakis yang berkisah tentang kegiatan di sana, kemudian membuat reviewnya.
So far, dia memang tertarik, apalagi setelah mendapat gambaran dari buku itu. Namun di beberapa hari lalu, semangatnya menurun. Ekspektasinya, ketika live-in di Banyumas ini, dia akan tinggal bersama dua orang temannya yang lain (Alev dan Kaysan) dan bersama-sama terus. Namun ternyata, di sana dia akan tinggal berama keluarga lokal sendiri-sendiri. Nantinya dia akan tinggal bersama satu orang temannya yang asli sana dan blend bersama keluarga asuhnya.
Ini hal terberat buat Naufal. Dia sampai bercucuran air mata, menyatakan ketidaksanggupannya untuk melanjutkan persiapan. Padahal ketika diberitahukan tentang minimnya sinyal dan larangan membawa ponsel itu disampaikan, buat dia nggak terlalu berat.
“I’m not a person who can talk with new people easily. How can I stay with completely a stranger family?” Begitu katanya.
Semua penjelasan dan semangat yang sudah dibangun berminggu-minggu seolah runtuh begitu saja. Saya sampai mengulang beberapa motivasi kembali, hingga akhirnya dia bilang, “I’m not gonna stop doing the preparation.” Artinya, sampai tiba waktunya berangkat, dia akan melanjutkan proses persiapan. Meski katanya, dia akan mundur kalau ternyata memang dia nggak akan menginap bareng dengan salah satu atau kedua temannya.
Esoknya, kami dijadwalkan akan bertemu tatap muka dengan Kak Shanty, penggagas acara ini dan kelima anak lainnya. Sedikit harapan, setelah ketemu teman-temannya, Naufal akan lebih semangat. Dan penjelasan Kak Shanty yang lebih komprehensif akan lebih jelas dan membuka perspektifnya lebih luas.
Dari obrolan saya bersama para orangtua, saya mendapat informasi bahwa nanti di sana anak-anak tidak diperkenankan membawa telepon seluler, juga karena memang sinyal telepon lumayan susah. Mereka akan tinggal di sebuah desa, di lereng bukit yang sejuk bersama penduduk desa. Setiap harinya, anak-anak akan berkegiatan bersama siswa-siswa Mts Pakis, yang bersekolah di pinggir hutan dan tanpa guru. Mereka nantinya akan live-in bersama mereka, menjalani aktivitas layaknya penduduk lokal, bercocok tanam dan belajar bersama-sama.
Menarik bukan? Ya, sounds fun. Tapi kemudian saya membayangkan lokasinya yang terpencil, kemana-mana harus berjalan kaki mendaki jalanan tanah yang terjal di pinggir-pinggir hutan dan hidup dengan fasilitas seadanya membuat nyali saya ciut. Sanggupkah Naufal menjalani semuanya?
Lalu, siangnya Naufal dan teman-teman bertemu kak Shanty untuk mendapat penjelasan dan oleh-oleh cerita paska surveynya Kak Shanty ke lokasi. Usai pertemuan itu, saya tanya Naufal, “So how? Are you going?”
“I think I will. The place looks cool. I would walk uphill from the village to school and we can play in the lake together too.”
“How about the place to stay?”
“Hmmm… it’s fine, I think.”
Wowwww…salut buat Kak Shanty yang berhasil memberi gambaran menarik tapi senyata-nyatanya berdasarkan hasil survey dan bisa membuat semangat Naufal bangkit kembali. Saya lega.
***

Esoknya, saya terbangun pagi hari dengan kepala penuh. Banyak sekali yang kepikiran. Tiba-tiba perasaan saya didera galau. Saya ternyata berat melepas Naufal pergi begitu lama dan belum siap menjalani kehidupan tanpa bantuan dia.
Sehari-hari, Naufal memang mempunyai tugas yang cukup membantu pekerjaan saya. Saya nggak sanggup melakukannya, makanya bagian yang berat-berat ini saya berikan ke Naufal. Contohnya, urusan membersihkan kotoran kucing, buang sampah, mengangkat galon, belanja sayur dan lain-lain. Belum lagi, adanya anak laki-laki yang sudah menjelang dewasa itu memberi saya dan Kayyisha rasa aman ketika suami saya nggak di rumah.
Lalu saya membayangkan semuanya, artinya banyak hal yang hilang. Saya ternyata belum siap ditinggal Naufal selama itu.
Kondisi memang mulai membalik. Ketika anak-anak masih kecil, mereka sangat tergantung orangtuanya. Orangtua nggak bisa pergi meninggalkan mereka begitu aja, karena nanti nggak ada yang membantu memenuhi kebutuhan mereka. Ketika orangtua menua, anak-anak bertumbuh, maka orangtua akan mulai bersandar pada anak.
Bahkan mungkin ada di satu masa, orangtua yang kesulitan hidup tanpa bantuan anak-anaknya.
Masyaallah, saya mulai merasakan hal ini. Nggak saya sadari, saya mulai bergantung pada anak-anak, terutama Naufal, anak tertua saya. Saat ini, yang lebih sering keluar rumah adalah saya, sementara anak-anak ada di rumah. Mereka sudah nggak perlu lagi dibantu untuk urusan kebutuhan pribadinya dan mengurus urusan rumah yang basic. Saya sudah tenang meninggalkan mereka.
Justru, ketika mereka nggak di rumah, saya yang mulai kelabakan.
Satu bulan menuju keberangkatan Naufal, sepertinya merupakan masa persiapan buat saya untuk siap melepas dia pergi dan melepaskan ketergantungan saya pada dia. Melepaskan segala rasa khawatir, bahwa saya akan baik-baik saja selama dia pergi.
Di titik ini, saya menarik napas panjang dan mencoba merenungkan, masa lima belas tahun menjadi orangtua. Ternyata, perjalanan menjadi orangtua akan mencapai satu titik ini. Titik yang unik, yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Titik dimana anak-anak kelak akan menjadi milik zamannya. Orangtua harus siap kembali mandiri, kembali berdiri sendiri. Membangun ruang rindu dan menggelar karpet merah ketika mereka kembali ke pelukan kita.
Masyaallah…
Untuk membaca kisah perjalanan Naufal dari hari ke harinya, silakan kunjungi blog Naufal Ghazi.
Ah meleleh akoh…
MasyaAllah tabarakallah 💕
Alhamdulillah, akhirnya Naufal semangat. Inspiratif, semoga semangat terus ya Kak!