Sekolah dan HS

image1(1)Tulisan ini dibuat bukan untuk menunjukkan kelebihan homeschooling daripada sekolah. Juga bukan untuk mendiskreditkan sekolah atau sistem pendidikan model apapun. Karena menurut saya, semua kembali pada pilihan masing-masing. Selama itu benar, dilakukan penuh kesadaran dan dalam rangka menuju jalan kebaikan, tentu pilihan itu baik.

Ini hanya curhatan saya yang pernah memiliki anak yang sekolah, dan kini merasakan sesuatu yang berbeda setelah mereka tidak lagi sekolah.

Sebelum menjadi homeschooler, satu yang saya pikirkan saat anak saya memasuki usia sekolah, yaitu mencarikan sekolah yang tepat dan nyaman untuk anak. Saat itu, saya memilih memasukkan anak ke sebuah sekolah yang paling dekat dengan rumah. Jarak dekat adalah alasan utamanya, karena saat itu saya tengah repot mengasuh anak kedua yang masih bayi.

Di tengah perjalanan, saya merasa sekolah itu tidak cocok. Lalu saya mencari sekolah lain dengan sebelumnya mencari tahu visi misi sekolah tersebut. Pencarian ini berakhir di sebuah sekolah yang menurut saya punya idealisme sama dengan kami, menerapkan rencana agenda yang bagus. Jadilah anak saya masuk di sekolah itu.

Di perjalanannya, saya kembali kecewa. Apa yang mereka canangkan di awal ternyata tidak sesuai. Saya tidak suka cara satu-dua orang gurunya mendidk. Tapi saya bertahan, toh anak saya hanya setahun sekolah di sana.

Kurang lebih begitulah cara kita demi mendapatkan pendidikan yang terbaik untuk anak, mencari sekolah yang punya idealisme sama. Syarat yang pertama adalah seakidah, kemudian fasilitasnya bagus, testimoni dari orang-orang juga bagus. Lulusannya diterima di sekolah lanjutan bergengsi, dan lain sebagainya. Pokoknya kita ingin anak-anak mendapatkan pendidikan yang terbaik.

Lalu bagaimana jika kita memilih homeschooling. Yang artinya, mereka akan dididik di rumah. Dan yang menjadi fasilitatornya adalah orang tua. Apakah kita masih menerapkan kriteria-kriteria seperti saat kita memilih sekolah?

Fasilitasnya harus baik, guru-gurunya baik, nilai-nilai yang diajarkan baik. Iya, kan. Pasti kriteria itu kita inginkan juga.

Hanya bedanya, kita bukan mencari tempat yang baik. Melainkan MENCIPTAKAN lingkungan yang baik agar menjadi kondusif untuk pendidikan anak-anak kita. Misalnya, kalau kita ingin anak-anak kita akhlaqnya baik berarti rumahnya harus rumah yang penuh kebaikan. Tidak menjadi rumah yang sering terdengar makian dan cacian. Tidak menjadi rumah yang menyajikan pemandangan piring melayang, tontonan penuh kekerasan dan seksualitas. Iya, kan.

Tentunya itu harapan kita semua. Fitrah kita sebagai manusia selalu ingin mendapatkan hal yang baik. Di dunia sekolahan, kita mencarinya di luar – tentunya dengan tetap melakukan pendidikan di rumah di waktu yang tersisa. Namun, kita mendelegasikan dan berbagi dengan sekolah. Makanya, kita tidak mau anak-anak sekolah di tempat yang buruk.

Dalam dunia homeschooling, kitalah, para orang tua yang harus bisa menciptakan lingkungan itu. Menjaga anak-anak kita agar selalu terekspos dengan hal-hal yang baik dari orang tuanya.

Jadi gimana?

Yaaa, gimana ya?

Ya, berarti kita-kita ini harus belajar, kan? Harus terus memperbaiki diri. Karena kita tidak bisa mengandalkan orang lain. Contohnya, kalau saat anak-anak saya sekolah, lalu saya mendengar anak saya bicara kata yang “ajib” pasti saya akan langsung bilang, “Ini gara-gara temennya di sekolah deh pastinya.” Atau “Guru sekolah ngajarinnya nggak bener.”

Dalam homeschooling, bagaimana anak kita, begitulah kita mendidik mereka. Makanya, ini akhirnya menjadi PR besar kita para orang tua. Risiko yang harus kita tanggung karena berani mengambil tanggung jawab besar mendidik mereka tanpa bantuan orang lain.

Ini jadi tantangan kita, apa yang kita impikan itulah yang harus kita lakukan lebih dahulu sebelum kita meminta anak-anak kita melakukannya.

Ingin anak-anak kita mencintai Al Qur’an…. kita sudah cinta Al Qur’an belum?

Ingin anak-anak jadi penghafal Al Qur’an… hafalan kita sudah nambah belum?

Ingin anak-anak berakhlaq seperti Rasulullah SAW… kita sudah menjalankannya duluan belum?

Ya, ternyata berat. Tapi bukan berarti jadi penghambat juga. Itulah kenapa, ternyata dalam proses homeschooling ini, bukan hanya anak-anak yang belajar. Tapi kita belajar bersama. Bahkan orang tua harus belajar lebih banyak lebih dulu, harusnya. Iya, kan.

Sungguh, catatan ini adalah sebuah muhasabah buat diri saya, yang masih banyak alpanya. Yang sering diingatkan oleh anak-anak untuk menjadi manusia yang lebih baik. Yang masih amat dhaif, namun ingin belajar lebih baik.

Itulah kenapa saya ingin menjadi orang tua homeschooling, karena saya ingin belajar menjadi orang tua yang sebenarnya. Belajar meniti jalan bersama anak-anak dan keluarga, menuju Syurga.

 

**bersambung ke catatan berikutnya**

9 thoughts on “Sekolah dan HS

    1. Dengan atau tanpa HS tugas ortu berat. Hanya kalo HS jd full tanggung jawab ortu, gak berbagi dgn sekolah.

  1. Aaah… maa syaa Allaah… maa syaa Allaah… barokallahu fik mba Anne.. semoga semangat mba menular pada saya yang masih galau dengan disekolahkan atau home schooling… start with bismillah… semoga selalu diberika yang terbaik oleh Allaah…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *