Selama satu setengah tahun keluarga kami menjalani homeschool (HS), selalu ada satu pertanyaan dari rekan-rekan saat saya berdiskusi dengan mereka,”Jadi, siapa yang menjadi guru homeschooling anak-anak? Apakah ada guru datang ke rumah?”
Ketika saya bilang bahwa tidak ada guru lain yang datang, kecuali saya dan istri sebagai “guru”, banyak dari mereka berdecak kagum. Mungkin mereka menyangka saya dan istri berperan sebagai guru homeschooling seperti halnya guru di sekolah yang mengajarkan segala rupa, semua pelajaran untuk semua tingkat sekolah. Kalau begitu bayangannya, maka dalam pikiran rekan saya itu bahwa saya dan istri menguasai seluruh pelajaran dan bisa mengajarkannya pada anak. Padahal kenyataannya tidak begitu.
Kami di rumah tidak memposisikan diri sebagai guru dalam artian seperti guru di sekolah, namun lebih condong sebagai fasilitator. Fasilitator hanya memberikan fasilitas dan sarana anak-anak untuk belajar, mengawasi mereka agar mereka ‘aman dalam belajar’ (kita akan bahas mengenai keamanan dalam belajar ini dalam bahasan lain), kemudian membiarkan anak-anak belajar sendiri.
Memangnya bisa anak belajar sendiri tanpa dikasih tahu?
Bisa, kalau kita tidak menganggap anak-anak sebagai kertas kosong.
Anak-anak adalah pembelajar yang serius. Mereka akan belajar apa saja, yang mereka minati, dengan kecepatan belajar yang luar biasa. Syaratnya hanya satu, berikan KENDALI kepada mereka tentang apa yang mau dipelajari, bagaimana cara belajarnya, dan kapan mereka belajar.
If you’re not the one who controlling your learning, you’re not going to learn as well – Joel Voss (researcher, neuroscientist)
Professor Sugata Mitra melalui eksperimennya yang terkenal yaitu Hole in The Wall (HIW) menunjukkan bahwa anak-anak, dimanapun dia, darimana pun asalnya, bisa belajar cukup banyak hanya dengan diberikan komputer yang terkoneksi dengan internet. Tanpa instruksi, tanpa guru, dan tanpa petunjuk harus melakukan apa, anak-anak belajar dari komputer tersebut karena rasa penasarannya. Beliau melakukan eksperimen tersebut di daerah-daerah kumuh di India, Kamboja, dan daerah rural di Inggris.
Seorang guru di sebuah sekolah di daerah kumuh di Mexico, Sergio Juarrez Correa, membaca eksperimen dari Sugata Mitra. Sergio kemudian mempraktekkan belajar dengan metode baru di kelas yang dia ajar. Sergio hanya membuka kelas dengan melontarkan pertanyaan terbuka bagi suatu topik, lalu membiarkan anak-anak mencari jawabannya sendiri. Sergio berusaha keras untuk tidak mengintervensi anak-anak dengan diskusi mereka. Hasilnya ternyata sangat mencengangkan. Anak-anak dari kawasan kumuh yang dianggap tidak bisa apa-apa itu kemudian bisa belajar dengan sangat baik, memahami topik-topik pelajaran dengan sangat bagus. Dan di saat ujian nasional, hasilnya mencengangkan semua pihak. Paloma, salah seorang murid di kelas Sergio mendapat nilai tertinggi di seluruh Mexico untuk matematika. Anak-anak lain juga mendapat nilai yang sangat hebat dan termasuk ke dalam elit 99.99 percentile di Mexico.
Sergio membiarkan anak-anak mengambil kendali atas apa yang mereka pelajari. Sergio bahkan tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang dia lontarkan meskipun murid-muridnya kesulitan. Dia hanya memfasilitasi pembelajaran anak dan membiarkan anak-anak belajar dengan kendali di tangan mereka sendiri.
Cerita lain yang terkenal adalah bagaimana peran Ibu dari seorang anak yang dianggap bodoh di kelasnya sehingga dikeluarkan dari sekolah. Ibu tersebut memberikan motivasi kepada si anak dengan menyebutkan bahwa dia terlalu pintar untuk belajar di sekolah, lalu mendorong anaknya untuk mencari sendiri semua jawaban yang diperlukannya. Si anak selalu ditantang untuk mencari dan menggali ilmu pengetahuan. Sang Ibu bukanlah seseorang yang berpendidikan tinggi, namun dengan kelembutan, kasih sayang, dan bimbingan sang Ibu, akhirnya si anak berkembang menjadi orang luar biasa dan penemu dari berbagai inovasi. Anak itu adalah Thomas Alva Edison.
Seperti itulah HS yang kami coba jalani. Kami sebagai orangtua tidak hendak menjadi guru homeschooling yang memberitahu mereka semua hal yang harus mereka pelajari. Kami juga tidak menjadi sumber dari segala jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan anak-anak. Kami hanya memantik mereka dengan pertanyaan,”Apa yang mau kalian pelajari hari ini?”
Karena anak bukanlah kertas kosong, yang perlu ditulisi bermacam-macam oleh kita. Mereka adalah harta karun yang terpendam, yang membutuhkan sedikit sentuhan kita untuk memunculkan apa yang ada di dalamnya.
Ayah dan ibu super, salut.
kami masih belajar mbak Ety..:-)
terimakasih banyak sudah mampir.
Mak bapak ini emang keren dan hebat. Jempoleeee
hehehe…kita masih sama-sama belajar mbak Sukma 🙂
saya belum menikah apalagi punya anak, tapi saya bercita-cita mendidik anak dengan cara homeschooling. Terimakasih informasinya, sangat bermanfaat, walaupun saya pribadi masih sulit berperan sebagai fasilitator (saya guru)
tetap semangat mbak Anissa…terimakasih sudah mampir 🙂
Wah terimakasih Mas Fitra ilmunya. Saya juga baca jangan anggap anak kecil sebagai sosok kertas putih yang tidak tahu apa-apa, mereka juga manusia dan akan bisa luar biasa apabila diberikan kesempatan sesuai potensi porsinya 🙂
Sama-sama mas Dani.
Anak-anak memang hebat..they were born geniuses. Kadang-kadang justru kita sebagai ortu yang tanpa sengaja “memadamkan” rasa ingin tahu mereka.
Semoga anak-anak kita tetap hebat, jenius, dan memelihara curiousity mereka hingga dewasa.
Aku masih bingung dgn sosialisasi dgn teman2 sebayanya, gmn tuh menyikapi perbedaannya itu?
mendidik anak itu gampang-gampang susah yaa, kita harus banyak kreatifitas dalam mendidik anak, agar anak kita juga kreatif.
kita sebagai ortu harus pintar2 mengetahui bakat dan minat anak, kadang ada anak yang berbakat namun dia tidak minat, ada juga yang tidak berbakat tapi dia minat, yang paling bagus sih ia berbakat dan ia juga minat.
Mohon dibantu informasi, apakah menjadi teacher home schooling bisa didapatkan sertifikasinya? Dimana dan bagaimana caranya ?
Terima kasih.