Satu bulan yang lalu, saya dan keluarga melakukan perjalanan ala backpacker ke Jawa Timur. Cerita lengkapnya belum saya tuliskan. Namun sebelumnya, saya ingin bercerita sedikit tentang latar belakang perjalanan kami, kenapa kami memilih backpacker style. Dan karena kami keluarga homeschooler, maka semua perjalanan yang kami lakukan bertema travelschooling.
Lalu, apa dan kenapa travelschooling? Kata ini begitu saja muncul mengingat kami adalah pelaku homeschooling dan senang melakukan travelling. Jadi proses travelschooling ini kami jadikan momen keluarga untuk belajar, sambil mengunjungi tempat-tempat tertentu.
Kalau kita bicara tentang travelling pasti terbayangnya adalah mengunjungi tempat-tempat wisata yang bagus dan menyenangkan, dan yang pastinya membutuhkan dana besar. Bukan, bukan itu. Bukan pula travelling ke tempat yang bermuatan edukasi seperti museum.
Travelling buat kami adalah berpergian ke mana saja. Bisa ke rumah teman atau saudara, ke pasar, ke taman, hiking sekitar kampung, main di sungai, keliling Jakarta sekedar melihat tempat-tempat baru yang belum dikunjungi. Target besarnya memang travelling yang agak jauh, untuk mengenalkan budaya, sejarah, kearifan lokal dan tempat baru.
Hanya untuk yang terakhir ini tentunya tidak terlalu sering, karena harus menabung dahulu.
Proses belajar yang kami rasakan itu bukan hanya saat kami tiba di destinasi perjalanan, namun kami justru banyak belajar saat di perjalanan.
Misalnya, suatu hari kami pernah melakukan perjalanan tanpa destinasi jelas. Niatnya hanya ingin mencoba naik commuter line (kami baru sekali naik CL). Dan pergilah kami ke stasiun Batu Ceper, Tangerang. Menunggu beberapa saat di stasiun sampai kereta itu datang.
Dalam proses menunggu ini, anak-anak saya ajak untuk mengenal stasiun, belajar membeli tiket dan mencoba menikmati proses menunggu. Sambil menunggu, kami membahas banyak hal mulai dari fakta kereta api, sains tentang fungsi batu di atas rel, dan memperhatikan karakter orang di sekitar.
Lalu kami berjalan sampai stasiun Duri. Sepanjang perjalanan, anak-anak juga belajar tentang respek dan menaati peraturan. Lanjut dari stasiun, sejatinya kami mau langsung pulang. Tapi kemudian berubah rencana dan memutuskan melanjutkan perjalanan ke Masjid Istiqlal menggunakan Bajaj. Dan belajarlah kami tentang bajaj dan banyak hal lain.
Cerita perjalanan lain yang tak kalah serunya adalah ketika kami pulang kampung ke rumah orang tua saya di Sumedang. Mereka tinggal di desa (ya, sejak resmi pensiun Papa saya ingin tinggal di desa) yang masih cukup asri. Kami selalu menyempatkan untuk hiking, bermobil naik ke gunung, atau sekedar jalan-jalan ke sawah pada musim panen. Cerita trekking ke salah satu Curug pernah saya ceritakan di SINI.
Karena di sana banyak saudara dari keluarga besar, kadang kami pergi bersama mereka. Mencoba track baru dan berpetualang.
Saat saya dan suami perlu mengurus surat-surat kependudukan, kami mengajak anak-anak ke kantor kelurahan/kecamatan. Ini kami sebut juga sebagai perjalanan belajar.
Oya, ada satu kisah perjalanan yang tak kalah serunya yaitu ketika kami bermacet-macetan bersama jutaan mudikers nusantara pulang kampung di momen lebaran. Perjalanan panjangnya ternyata banyak memberi pelajaran berharga juga. Ceritanya sempat dituliskan di catatan MUDIK MADNESS ini.
Selain rutinitas kami yang sering pindah-pindah rumah (saking sering dan berjangka waktu, kami menyebutnya rutinitas ;p) kami memang menyukai perjalanan, baik yang jauh maupun dekat. Dalam perjalanan, ada latihan kesabaran dan kehati-hatian. Dalam perjalanan juga kami bisa menjadikannya sebagai momen diskusi, belajar adab, berinteraksi dengan orang baru dan beradaptasi dengan tempat baru.
Tempat yang bagus membuat kami bersyukur atas anugerah keindahan alam, kendala di perjalanan melatih kami sedikit demi sedikit tentang menahan diri, bertemu dengan orang baik mengingatkan kami tentang sifat baik, bertemu dengan orang tidak baik juga meninggalkan pesan agar kami lebih berhati-hati dan jangan sampai memiliki sifat yang tidak baik.
Lalu kenapa nekat mencoba travelling ala backpacker?
Ya, perjalanan kami sebelumnya memang bisa dikatakan perjalanan koper (kalau yang pernah nonton acara koper vs ransel pasti tahu maksudnya). Petualangan ala ransel ini memang salah satu impian kami, dan harus sabar menunggu sampai anak-anak siap. Begitu ada kesempatan, langsung deh kami manfaatkan.
Travelling ala backpacker ini penuh tantangan. Di perjalanan, kami belajar berdamai dengan segala keadaan, siap menerima kondisi terburuk dan belajar tentang spontanitas. Banyak pengalaman baru yang anak-anak peroleh seperti makan di terminal bus dan streetfood, naik bus dan kereta ekonomi, berjalan jauh membawa ransel, menunggu berjam-jam, tidur di mana saja, dan sebagainya.
Alhamdulillah, anak-anak siap dan menikmati setiap momennya. Perjalanan #zerocomplain ini bisa dikatakan berhasil.
Jadi, belajar di perjalanan itu menyenangkan dan bermanfaat. Sebagaimana motto homeschooler yang BELAJAR DI MANA SAJA, lewat travelschooling inilah caranya.
Wooow. Keren. Baru kali ini tahu konsep travelschooling. Kalo saya jalan ya paling ngajakin ngobrol tentang apa aja yang dilihat selama perjalanan. Gak pernah niat belajarnya.
Nah itu Dan. Semua berawal dari niyat ๐
Ow, saya baru tahu nih Mak sebutannya. Saya juga sering mengajak anak traveling, dalam pikiran saya sekalian belajar dan bersentuhan dengan alam.
Sebutannya saya bikin sendiri aja, krn kami homeschooling family dan suka traveling.
Luar biasa sharing-nya. Sangat menginspirasi. Aku jadi belajar darimu, mbak ๐
Tfs.
Terima kasih mbak Riiien. Aku juga lhooo
mbak anaknya usia berapa ya saat diajak backpackeran tx
Pertama kali banget backpackeran (hanya ke Yogya) anak yg bungsu umur 3,5 tahun. Yg backpacker terakhir (ke bbrp lokasi) umurnya 7 tahun.
Pernah diajak sejak usia 3 tahun mbak. Yg real backpacker, pake jalan jauh dan pindah2 tempat umur 7 tahun